Kondisi Keluarga Fakir Miskin
Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak
hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di
negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada
dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat
kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia
yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial
(World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu
fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda
Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan
sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud
telah dijadikan perhatian utama bangsaIndonesiasejak tersusunnya Undang-Undang
Dasar 1945.
Manifestasi dari komitmenIndonesiadimaksud
terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai
konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan
yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial
Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan
Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit
Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan
lain-lain.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin
di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun
pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan
International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di
Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002,
persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah
mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos
2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak.
Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan
tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk
sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa
salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang
kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root).
Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke
atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat
kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%)
adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak
3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan
sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun
jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka
hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan
yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%)
telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).
Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan
tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma
modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang
kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic
ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan
lebih terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek structural and
social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Suharto (2002) dikemukakan: In
its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost
as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings
who have something to contribute to both the identification of their condition
and its improvement. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur
yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti
Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty
Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index
(PQLI).
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa
dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh
(comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program
pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan.
Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk
menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik
secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya.
Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting
untuk mengatasi masalahnya.
Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000),
pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan
penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin
merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang
pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki.
Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah
kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka
miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki
oleh masyarakat miskin.
OPINI :
Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial
yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia
dan menjadi maslah di suatu Negara baik Negara berkembang maupun Negara maju.
Di Indonesia sendiri, angka kemiskinan tiap tahun semakin bertambah. Hal
tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk
sosial ekonomi masyarakat yang tangguh serta orientasi pembangunan ekonomi yang
kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi. Di Indonesia
sendiri sudah nenangani kemiskinan dengan banyaknya program yang dibuat tapi
angka kemiskinan masih terus bertambah. Maka dari itu, kemiskinan merupakan
tugas kita bersama (baik pemerintah maupun warga negaranya) untuk mengurangi
serta memberantas kemiskinan di negara kita dan dalam mengatasi masalah
kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh sehingga dapat dijadikan acuan
dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial.

0 komentar:
Posting Komentar