Jumat, 02 Januari 2015

Pengalaman Agama dan Masyarakat

0 komentar


Agama sebagai Topeng Korupsi 

Masih ingatkah Anda pada kasus korupsi mengenai pengadaan Al-Quran dan laboratorium Madrasah Tsanawiyahdi di dalam tubuh Kementrian Agama ? Kemudian kasus korupsi terkait dana penyelenggaraan haji ? Terbaru, kasus korupsi daging sapi yang ternyata para dalangnya merupakan petinggi sebuah partai yang bernafaskan agama ?
Dilihat dari contoh kasus korupsi yang terjadi di Indonesia di atas saya menarik sebuah kesimpulan yang cukup mengherankan. Para dalang beberapa kasus korupsi tersebut memakai agama sebagai tameng mereka dalam melancarkan aksi-aksinya. Dibalik sebuah embel-embel berwujud nilai-nilai moral yang suci, mereka mulai mengkrikiti dana negara demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Sungguh mengejutkan memang, mereka yang terpilih merepresentasikan masyarakat justru menyengsarakan rakyatnya sendiri. Terlebih, mereka para pelaku korupsi, melucuti nilai-nilai kemanusiaan dengan menggunakan sebuah topeng ketabuan agama sebagai alat pelindungnya. Hal ini merupakan kisah yang pilu bagi suatu negara yang mengamalkan nilai agama sebagai salah satu unsur ideologinya.
Masyarakat meletakkan kepercayaan begitu tinggi pada institusi yang menjadikan agama sebagai judul utamanya. Masyarakat berasumsi, bahwa nilai kesakralan yang dipikul oleh setiap institusi berjudul agama, membuat para tokoh di dalamnya akan bertindak sesuai dan sejalan dengan ajaran utama agama yang universal. Yaitu setiap pemeluk agama diwajibkan untuk mengatur dan menciptakan kesejahteraan bersama setiap warga. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa tidak ada seorangpun, terutama para petinggi negeri, yang berani melanggar setiap nilai agama yang begitu sakral. Sayangnya, fakta empiris berkata lain. Ternyata para koruptor justru berlindung di bawah ketiak agama.
Hal tersebut, antara lain disebabkan oleh pola pikir sebagian besar masyarakat yang belum terbuka. Mereka terlalu menganggap agama sebagai sebual hal yang sangat tabu, tidak pantas untuk dibongkar dan dibedah secara empiris. Termasuk menyelidiki perilaku para pegiatnya yang mendapat predikat “manusia baik”. Mereka tidak berani menerobos ruang-ruang yang berada di balik tabir sebuah ajaran. Juga, terlalu melegitimasikan sebuah kesucian yang begitu tinggi kepada sebuah doktrin yang sebenarnya belum sempurna. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat terlalu mudah ditundukan dan dikecohkan dengan menggunakan interpretasi subjektif seseorang atau kelompok mengenai pemahaman ajaran agama.
Tentu, jelas bukan salah ajaran-ajaran yang terkandung dalam setiap nilai agama tersebut. Namun, hal ini merupakan kesalahan utama dari oknum-oknum kotor yang menjadi tersangka utama di balik setiap kasus korupsi yang terjadi. Merekalah yang terlalu pantas disalahkan dan dihukum.
Dampaknya, bukan saja negara yang merugi secara keuangan dalam hitungan angka rupiah, ada dampak lain yang lebih genting dari pada itu. Pertama, masyarakat awam yang “tertipu” sudah tentu merasakan kekecewaan yang begitu besar. Sehingga hal tersebut akan terus melanggengkan eksistensi sebuah distorsi dalam hubungan antara masyarakat dengan negara–pemerintah. Kemudian dari langgengnya distorsi dalam hubungan keduanya, menjalar hingga mengganggu stabilitas negara. Kedua, sekaligus yang cukup berbahaya adalah rusaknya citra agama di masyarakat. Secara tidak langsung, nama sebuah agama akan terkena imbasnya. Agama diperkosa habis-habisan oleh para koruptor. Mereka merenggut kesucian ajaran moral yang universal dari agama.
Solusinya, tetaplah berpikiran terbuka akan setiap hal, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut akan sebuah ketabuan. Jangan terlalu mudah percaya dan mengonsumsinya mentah-metah akan setiap kejadian yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Karena akan selalu ada kepentingan dan keberpihakan di balik setiap kejadian. Demi mewujudkan ambisi akan kepentingannya, setiap orang akan selalu menggunakan alat apapun untuk merengkuh keinginannya. Tak terkecuali agama.

Pengalaman IPTEK dan Kemiskinan

0 komentar


Kondisi Keluarga Fakir Miskin

Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud telah dijadikan perhatian utama bangsaIndonesiasejak tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945.
Manifestasi dari komitmenIndonesiadimaksud terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%) adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak 3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%) telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).
Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya.
Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.

OPINI :

Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia dan menjadi maslah di suatu Negara baik Negara berkembang maupun Negara maju. Di Indonesia sendiri, angka kemiskinan tiap tahun semakin bertambah. Hal tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh serta orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi. Di Indonesia sendiri sudah nenangani kemiskinan dengan banyaknya program yang dibuat tapi angka kemiskinan masih terus bertambah. Maka dari itu, kemiskinan merupakan tugas kita bersama (baik pemerintah maupun warga negaranya) untuk mengurangi serta memberantas kemiskinan di negara kita  dan dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial.

Pengalaman Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat

0 komentar


  Contoh kasus pertentangan sosial yang sedang terjadi di indonesia antara lain adalah kasus mesuji, yang diakibatkan tidak adanya penyelesaian masalah yang baik. Sehingga terjadinya persengketaan tanah antara masyarakat dengan  pihak lain. Contoh lain peristiwa di Bima, Nusa Tenggara Timur, terjadinya pertumpahan darah karena adanya perselisihan antara warga dengan perusahaan pertambangan yang akan membuka lahan pertambangan di wilayah tersebut namun di tolak oleh masyarakat di wilayah tersebut.
       Agar tidak terjadi lagi kasus-kasus tersebut di indonesia,  masyarakat indonesia harus menanamkan sikap dan kesediaan menenggang dan sikap terbuka golongan penguasa sehingga meniadakan kemungkinan deskriminasi.

Pengalaman Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota

0 komentar


Dampak Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan terhadap Kualitas

Masalah pelayanan publik yang menggejala dan terjadi diIndonesiaadalah masalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai birokrasi publik. Gejala ini mulai nampak sejak jatuhnya pemerintahan orde baru, yang kemudian diikuti dengan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik ini ditandai dengan mengalirnya protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi publik, baik di tingkat pusat ataupun daerah. Pendudukan kantor-kantor pemerintah, rumah dinas bupati dan kepala desa, dan perusakan berbagai fasilitas publik menjadi fenomena yang sering ditemui di berbagai daerah. Ini menunjukkan betapa besarnya akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi publik.
Karenanya, ketika pintu protes itu terbuka, maka mengalirlah semua bentuk keluhan, kecaman, bahkan hujatan terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik tersebut bisa dipahami mengingat birokrasi publik pada masa itu menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa orde baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil maupun militer, dalam rezim orde baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya. Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik.
Hal ini juga tercermin dalam proses kebijakan publik yang lebih mementingkan kepentingan penguasa dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik juga amat terbatas. Akibatnya banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat.

OPINI :

Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan aksi protes dan demonstrasi menyebabkan kebijakan publik dan program-program pemerintah akan mengalami kegagalan dan lambat dalam menjalankannya. Hal tersebut dapat menganggu perkembangan suatu bangsa dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Seharusnya pemerintah ini lebih mementingan kepentingan masyarakat dan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam menjalankan program-program pemerintah tersebut sehingga semuanya bisa berjalan dengan lancar dan dapat membuat masyarakat sejahtera karena bangsa yang maju yaitu bangsa yang dapat mensejahterakan warganya.

Pengalaman Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat

0 komentar


Permukiman Ahmadiyah Diserang
BOGOR, KOMPAS.com

Sekelompok massa menyerang dan membakar kompleks permukiman warga Ahmadiyah di Desa Cisalaga, Ciampea, Kabupaten Bogor, Jumat (1/10/2010) malam.
Menurut pemantauan Antara di lokasi kejadian, tiga rumah dan satu masjid milik warga Ahmadiyah hangus terbakar, termasuk satu sepeda motor dan satu mobil.
Penyerangan oleh massa yang tidak senang dengan keberadaan permukiman Ahmadiyah tersebut mulai terjadi sekitar pukul 20.00 WIB.
Hingga berita ini diturunkan, situasi tampak mencekam. Puluhan polisi dari Polres Bogor dan juga personel Brimob tampak membuat barikade di gerbang masuk permukiman tersebut untuk mencegah serangan massa yang masih mencoba masuk.

OPINI :
Menurut pendapat saya, massa melakukan perbuatan anarkis (menyerang dan membakar pemukiman warga) yang merugikan masyarakat sekitar dan susah untuk diatur oleh polisi serta bersikap egois ataupun mau menang sendiri, sebaiknya masalah tersebut bisa diselesaikan secara baik-baik dengan cara berbiara langsung dengan warga sekitar dan mencari jalan keluarnya ataupun dengan bantuan polisi untuk memberikan jalan keluar agar kedua belah pihak tidak dirugikan.